Senin, 27 Agustus 2012

Pendekatan Konvensional dan Orientasi Teaching


PERBEDAAN, KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DARI PENDEKATAN KONVENSIONAL DAN ORIENTASI TEACHING


Oleh:
Kelompok 3
1.        Trian Hermawan                                         (1013022060)
2.        Ismi Dwi Mustika Arum                             (1013022074)
3.        Rosita Kurniawati                                       (1013022012)
4.        Shela Maulita                                              (1013022014)



{logo}



 
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2011
a.      Pengertian pendekatan konvensional
Ardhana, et al (2004), dari hasil survei terhadap beberapa SD di Buleleng (Bali) dan Kota Malang menemukan bahwa 80% guru menyatakan paling sering menggunakan metode ceramah untuk pembelajaran sains. Sedangkan dari pandangan siswa, 90% menyampaikan bahwa gurunya mengajar dengan cara menerangkan, 58,8% berpendapat dengan cara memberikan PR, dan 43,6% menyampaikan dengan cara meringkas, serta jarang sekali melakukan pengamatan di luar kelas. Terkait dengan temuan ini, kegiatan mengajar yang dilakukan oleh para guru tersebut merupakan aktivitas menyimpan informasi dalam pikiran siswa yang pasif dan dianggap kosong. Siswa hanya menerima informasi verbal dari buku-buku dan guru atau ahli.
Pengemasan belajar dan pembelajaran seperti tersebut di atas dalam beberapa tulisan (Dunlap & Grabinger, 1996; Grabinger, 1996; Goodman & Kuzmic, 1997; Johnson, 2002; Wilson, 1996) diistilahkan sebagai pembelajaran konvensional atau tradisional.
Freire (1999) memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber-“gaya bank” (banking concept of education). Penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal. Proses ini lebih jauh akan berimplikasi pada terjadinya hubungan yang bersifat antagonisme di antara guru dan siswa. Guru sebagai subjek yang aktif dan siswa sebagai objek yang pasif dan diperlakukan tidak menjadi bagian dari realita dunia yang diajarkan kepada mereka.
Burrowes (2003) menyampaikan bahwa pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat sporadis. Menurut Brooks & Brooks (1993), penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar.
Jika dilihat dari tiga jalur modus penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih sering menggunakan modus telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating (memperagakan) dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung). Dalam perkataan lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau metode ceramah dan/atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yag ada dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada buku teks dan kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut. Jadi, pembelajaran konvensional kurang menekankan pada pemberian keterampilan proses (hands-on activities).
Berdasarkan definisi atau ciri-ciri tersebut, penyelenggaraan pembelajaran konvensional merupakan sebuah praktik yang mekanistik dan diredusir menjadi pemberian informasi. Dalam kondisi ini, guru memainkan peran yang sangat penting karena mengajar dianggap memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar (pebelajar). Dengan kata lain, penyelenggaraan pembelajaran dianggap sebagai model transmisi pengetahuan (Tishman, et al., 1993). Dalam model ini, peran guru adalah menyiapkan dan mentransmisi pengetahuan atau informasi kepada siswa. Sedangkan peran para siswa adalah menerima, menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang sesuai dengan informasi yang diberikan.
Pembelajaran yang didasarkan pada asumsi-asumsi menurut model transmisi memandang bahwa pengetahuan terdiri dari potongan-potongan fakta (O’Malley & Pierce, 1996). Siswa mempelajari pengetahuan atau keterampilan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Diasumsikan bahwa penguasaan terhadap pengetahuan atau keterampilan yang kompleks dapat dicapai secara langsung apabila siswa sebelumnya telah mempelajari bagian-bagian pengetahuan tersebut (Oliver & Hannafin, 2001). Dalam kondisi ini para siswa harus secara cepat dan seksama melalui aktivitas-aktivitas mendengarkan, membaca, dan mencatat untuk memperoleh informasi. Terkadang para siswa perlu juga melakukan aktivitas laboratorium dan/atau menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan informasi tersebut. Di sisi lain, guru berperan memproses pengetahuan dan/atau keterampilan yang diperlukan para siswa. Terhadap pemrosesan pengetahuan atau keterampilan tersebut, guru terkadang perlu menambahkan penguatan berupa gambar, simbol, tabel, atau jenis yang lain sebagai sumber belajar. Sumber belajar tersebut sebagian besar sifatnya tekstual (bukan kontekstual).
Pendekatan pembelajaran konvensional atau konservatif saat ini adalah pendekatan pembelajaran yang paling banyak dikritik. Namun pendekatan pembelajaran ini pula yang paling disukai oleh para guru. Terbukti dari observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah di Jawa Tengah, hampir 80% guru masih menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional.
Sebagaimana dikatakan oleh Philip R. Wallace  tentang Pendekatan konservatif, pendekatan konvensional memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagai mana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima.  
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) Pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan  sebagai contoh bagi murid-muridnya
2.      Perhatian kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
3.      Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
4.      Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi  tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Menurut Ujang Sukandi (2003) mendeskripsikan bahwa Pendekatan konvensional ditandai dengan  guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan.  Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud  adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
b.      Pengertian Orientasi Teaching 
Sampai saat ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada guru sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal siswa.Untuk itu diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan siswa. Salah satu pendekatan yang memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual (CTL).

CTL dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga  yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas

Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya.

Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut:
1)      Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa
2)      Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama
3)      Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual
4)      Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka
5)      Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
Dalam pengajaran kontekstual memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).
  1. Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
  2. Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
  3. Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.
  4. Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
  5. Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
Menurut Blanchard, ciri-ciri kontekstual:
1)      Menekankan pada pentingnya pemecahan masalah
2)      Kegiatan belajar dilakukan dalam  berbagai konteks
3)      Kegiatan belajar dipantau dan diarahkan  agar siswa dapat belajar mandiri.
4)      Mendorong siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri
5)      Pelajaran menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
6)      Menggunakan penilaian otentik
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut:
1.      Konstruktivisme (constructivism)
Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
2.      Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3.      Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk menggali informasi, menggali pemahaman siswa, membangkitkan respon kepada siswa, mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa
.
4.      Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5.      Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
6.      Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7.      Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment)
Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.


c.       Kelebihan dan kekurangan pendekatan konvensional

Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
a.       Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b.      Menyampaikan informasi dengan cepat.
c.       Membangkitkan minat akan informasi.
d.      Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
a.       Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b.      Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c.       Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d.      Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.

Selama ini metode pengajaran yang diberikan seorang dosen maupun guru masih menggunakan pendekatan konvensional dengan metode pengajaran repetisi atau  pengulangan. Metode ini alhasil menyebabkan pendidikan dan penguasaan materi yang diajarkan kurang maksimal dan siswa juga kurang bisa berfikir kritis.
Metode konvensional yang dimaksud adalah metode dimana guru tidak melakukan penyaluran pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi lebih kepada repetisi atau pengulangan. Otak siswa diminta untuk menghafal tetapi bukan menganalisis secara kritis.
Metode pengajaran konvensional memosisikan guru sebagai pemilik ilmu atau otoritas pengetahuan. Guru dianggap sebagai orang yang memberi ilmu atau pengetahuan. Sedangkan siswa menjadi obyek pasif, hanya sebagai penerima ilmu sehingga siswa menjadi tidak kritis.
Kelemahan metode konvensional pada konteks pengetahuan, ilmu yang diberikan juga bersifat sudah baku. Biasanya dituangkan dalam buku teks dan materinya hanya itu-itu saja. Metode pengajarannya hanya seputar listening atau mendengarkan, mencatat dan menghafal teks. Pada saat assessment atau penilaian biasanya hanya melalui ujian dengan soal pilihan ganda. Oleh karenanya, siswa tidak memiliki kebebasaan untuk menuangkan pikirannya terkait soal yang diberikan. Serta tidak ada metode penilaian yang lain.
d.      Kelebihan dan kekurangan orientasi teaching

Mayoritas siswa di sekolah kita tidak dapat membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan yang akan digunakan. Hal ini karena cara mereka memproses informasi dan motivasi mereka untuk belajar tidak tersentuh oleh metode tradisional pengajaran di kelas. Para siswa memiliki waktu yang sulit memahami konsep akademik (seperti konsep-konsep matematika) seperti yang biasa diajarkan (yaitu, menggunakan metode, kuliah abstrak), tetapi mereka sangat membutuhkan untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan ke yang lebih besar masyarakat di mana mereka akan tinggal dan bekerja. Secara tradisional, siswa telah diharapkan untuk membuat koneksi pada mereka sendiri, di luar kelas.

Menurut teori pembelajaran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa (pembelajar) proses informasi baru atau pengetahuan sedemikian rupa sehingga masuk akal untuk mereka dalam bingkai acuan mereka sendiri (dunia batin mereka sendiri memori, pengalaman, dan respon). Pendekatan untuk belajar dan mengajar mengasumsikan bahwa pikiran secara alami mencari makna dalam konteks-yang, dalam kaitannya dengan saat ini orang lingkungan-dan bahwa ia melakukannya dengan mencari hubungan yang masuk akal dan tampaknya berguna.

Membangun di atas pemahaman ini, teori pembelajaran kontekstual berfokus pada berbagai aspek dari setiap lingkungan belajar, apakah kelas, laboratorium, laboratorium komputer, tempat kerja, atau ladang gandum. Hal ini mendorong pendidik untuk memilih dan / atau desain lingkungan belajar yang menggabungkan sebagai bentuk berbagai pengalaman mungkin-sosial, budaya, fisik, dan psikologis-dalam bekerja menuju hasil pembelajaran yang diinginkan.

Dalam lingkungan seperti itu, siswa menemukan hubungan yang berarti antara ide-ide abstrak dan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata, konsep diinternalisasi melalui proses menemukan, memperkuat, dan berkaitan. Sebagai contoh, sebuah kelas fisika mempelajari konduktivitas termal dapat mengukur bagaimana kualitas dan jumlah bahan bangunan isolasi mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan untuk menjaga gedung dipanaskan atau didinginkan. Atau kelas biologi atau kimia bisa belajar konsep-konsep ilmiah dasar dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara di mana petani menderita dan berkontribusi terhadap degradasi lingkungan.
Namun pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu tidak semua siswa yang diajarkan memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, sehingga masih membutuhkan bimbingan penuh dari guru.  Tidak semua dari mereka menjadi siswa yang aktif, sebagian dari mereka memilih pasif, dikarenakan alasan-alasan tertentu, salah satunya karena takut berbicara atau takut disalahkan.

e.       Perbedaan antara pendekatan konvensional dan orientasi teaching
Sumber belajar dalam pendekatan pembelajaran konvensional lebih banyak berupa informasi verbal yang diperoleh dari buku dan penjelasan guru atau ahli. Sumber-sumber inilah yang sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh karena itu, sumber belajar (informasi) harus tersusun secara sistematis mengikuti urutan dari komponen-komponen yang kecil ke keseluruhan (Herman, et al., 1992; Oliver & Hannafin, 2001) dan biasanya bersifat deduktif. Oleh sebab itu, pembelajaran diartikulasikan menjadi tujuan-tujuan berupa prilaku yang diskrit. Apa yang terjadi selama proses belajar dan pembelajaran jauh dari upaya-upaya untuk terjadinya pemahaman. Siswa dituntut untuk menunjukkan kemampuan menghafal dan menguasai potongan-potongan informasi sebagai prasyarat untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Artinya bahwa siswa yang telah mempelajari pengetahuan dasar tertentu, maka siswa diharapakan akan dapat menggabungkan sub-sub pengethauan tersebut untuk menampilkan prilaku (hasil) belajar yang lebih kompleks. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran konvensional merupakan aktivitas belajar yang bersifat linier (O’Malley & Pierce, 1996) dan deterministik (Burton, et al., 1996).
Pembelajaran yang bersifat linier didesain dengan kerangka kerja berupa serangkaian aktivitas belajar dalam suatu tata urutan yang sistematis dan hasil belajar (berupa prilaku) yang dapat ditentukan secara pasti (deterministik) serta teramati. Beberapa prinsip yang melatar belakangi desian pembelajaran linier adalah: (1) mengidentifikasi dan merumuskan tujuan pembelajaran, (2) hasil belajar yang diharapkan harus terukur serta sesuai dengan standar validitas dan reliabilitas, dan (3) desain berorientasi pada perubahan tingkah laku pebelajar.
Berdasarkan prinsip desain pembelajaran tersebut di atas, maka prosedur pembelajaran konvensional yang diimplementasikan dalam penelitian ini disusun mengikuti urutan-urutan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi indikator keberhasilan, yang selanjutnya dituangkan menjadi tujuan pembelajaran, (2) merancang dan menyusun isi bahan ajar konvensional (teks ajar dan LKS), (3) merancang dan menyusun instrumen tes untuk mengukur hasil belajar (pemahaman konsep dan ketertampilan berpikir kritis), (4) merancang dan menyusun skenario pembelajaran, (5) mengimplementasikan program pembelajaran, dan (6) melaksanakan evaluasi. Implementasi program pembelajaran terdiri dari langkah-langkah, yaitu (a) apersepsi, (b) penjelasan konsep, dengan metode ceramah dan/atau demonstrasi, (c) latihan terbimbing, (d) memberikan balikan (feed back). Keseluruhan pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran ini menggunakan latar (seting) belajar diskusi kelompok-kelompok kooperatif.
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Transfer belajar; anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar; tugas guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. Pentingnya lingkungan belajar; siswa bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan dari dekat.

Penerapan CTL dalam pembelajaran mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua toipik. Kembangkan sifat keingin tahuan siswa dengan cara bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.



0 komentar:

Posting Komentar