PERBEDAAN, KELEBIHAN DAN KEKURANGAN DARI PENDEKATAN
KONVENSIONAL DAN ORIENTASI TEACHING
Oleh:
Kelompok 3
1.
Trian Hermawan (1013022060)
2.
Ismi Dwi Mustika Arum (1013022074)
3.
Rosita Kurniawati (1013022012)
4.
Shela Maulita (1013022014)
{logo}
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2011
a. Pengertian pendekatan konvensional
Ardhana, et al (2004), dari
hasil survei terhadap beberapa SD di Buleleng (Bali) dan Kota Malang menemukan
bahwa 80% guru menyatakan paling sering menggunakan metode ceramah untuk
pembelajaran sains. Sedangkan dari pandangan siswa, 90% menyampaikan bahwa
gurunya mengajar dengan cara menerangkan, 58,8% berpendapat dengan cara
memberikan PR, dan 43,6% menyampaikan dengan cara meringkas, serta jarang
sekali melakukan pengamatan di luar kelas. Terkait dengan temuan ini, kegiatan
mengajar yang dilakukan oleh para guru tersebut merupakan aktivitas menyimpan
informasi dalam pikiran siswa yang pasif dan dianggap kosong. Siswa hanya
menerima informasi verbal dari buku-buku dan guru atau ahli.
Pengemasan belajar dan pembelajaran
seperti tersebut di atas dalam beberapa tulisan (Dunlap & Grabinger, 1996;
Grabinger, 1996; Goodman & Kuzmic, 1997; Johnson, 2002; Wilson, 1996)
diistilahkan sebagai pembelajaran konvensional atau tradisional.
Freire (1999) memberikan istilah
terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan
ber-“gaya bank” (banking concept of education). Penyelenggaraan
pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang
harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal. Proses ini lebih
jauh akan berimplikasi pada terjadinya hubungan yang bersifat antagonisme di
antara guru dan siswa. Guru sebagai subjek yang aktif dan siswa sebagai objek
yang pasif dan diperlakukan tidak menjadi bagian dari realita dunia yang
diajarkan kepada mereka.
Burrowes (2003) menyampaikan bahwa
pembelajaran konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan
waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang
dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau
mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran
berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa
kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian bersifat
sporadis. Menurut Brooks & Brooks (1993), penyelenggaraan pembelajaran
konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan
pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa
dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
melalui kuis atau tes terstandar.
Jika dilihat dari tiga jalur modus
penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih
sering menggunakan modus telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating
(memperagakan) dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk
menampilkan unjuk kerja secara langsung). Dalam perkataan lain, guru lebih
sering menggunakan strategi atau metode ceramah dan/atau drill dengan mengikuti
urutan materi dalam kurikulum secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan
program pembelajaran dilihat dari ketuntasannya menyampaikan seluruh materi yag
ada dalam kurikulum. Penekanan aktivitas belajar lebih banyak pada buku teks
dan kemampuan mengungkapkan kembali isi buku teks tersebut. Jadi, pembelajaran
konvensional kurang menekankan pada pemberian keterampilan proses (hands-on
activities).
Berdasarkan definisi atau ciri-ciri
tersebut, penyelenggaraan pembelajaran konvensional merupakan sebuah praktik
yang mekanistik dan diredusir menjadi pemberian informasi. Dalam kondisi ini,
guru memainkan peran yang sangat penting karena mengajar dianggap memindahkan
pengetahuan ke orang yang belajar (pebelajar). Dengan kata lain,
penyelenggaraan pembelajaran dianggap sebagai model transmisi pengetahuan
(Tishman, et al., 1993). Dalam model ini, peran guru adalah menyiapkan
dan mentransmisi pengetahuan atau informasi kepada siswa. Sedangkan peran para
siswa adalah menerima, menyimpan, dan melakukan aktivitas-aktivitas lain yang
sesuai dengan informasi yang diberikan.
Pembelajaran yang didasarkan pada
asumsi-asumsi menurut model transmisi memandang bahwa pengetahuan terdiri dari
potongan-potongan fakta (O’Malley & Pierce, 1996). Siswa mempelajari
pengetahuan atau keterampilan dari bagian-bagian ke keseluruhan. Diasumsikan
bahwa penguasaan terhadap pengetahuan atau keterampilan yang kompleks dapat
dicapai secara langsung apabila siswa sebelumnya telah mempelajari
bagian-bagian pengetahuan tersebut (Oliver & Hannafin, 2001). Dalam kondisi
ini para siswa harus secara cepat dan seksama melalui aktivitas-aktivitas
mendengarkan, membaca, dan mencatat untuk memperoleh informasi. Terkadang para
siswa perlu juga melakukan aktivitas laboratorium dan/atau menjawab pertanyaan
yang berkaitan dengan informasi tersebut. Di sisi lain, guru berperan memproses
pengetahuan dan/atau keterampilan yang diperlukan para siswa. Terhadap
pemrosesan pengetahuan atau keterampilan tersebut, guru terkadang perlu
menambahkan penguatan berupa gambar, simbol, tabel, atau jenis yang lain
sebagai sumber belajar. Sumber belajar tersebut sebagian besar sifatnya
tekstual (bukan kontekstual).
Pendekatan pembelajaran konvensional
atau konservatif saat ini adalah pendekatan pembelajaran yang paling banyak dikritik.
Namun pendekatan pembelajaran ini pula yang paling disukai oleh para guru.
Terbukti dari observasi yang dilakukan di sekolah-sekolah di Jawa Tengah,
hampir 80% guru masih menggunakan pendekatan pembelajaran konvensional.
Sebagaimana dikatakan oleh Philip R.
Wallace tentang Pendekatan konservatif, pendekatan konvensional memandang
bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagai mana umumnya guru mengajarkan
materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa,
sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima.
Menurut Philip R. Wallace (1992: 13) Pendekatan pembelajaran dikatakan
sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1.
Otoritas
seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi
murid-muridnya
2.
Perhatian
kepada masing-masing individu atau minat siswa sangat kecil.
3.
Pembelajaran di
sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai
peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
4.
Penekanan yang
mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan
penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolok ukur keberhasilan
tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Menurut Ujang Sukandi (2003)
mendeskripsikan bahwa Pendekatan konvensional ditandai dengan guru
mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi,
tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu,
dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di
sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud adalah proses
pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu,
sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaknai
sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru,
komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih
banyak menggunakan ceramah dan demonstrasi, dan materi pembelajaran lebih pada
penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.
b. Pengertian Orientasi Teaching
Sampai saat
ini, pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh kelas yang berfokus pada
guru sebagai utama pengetahuan, sehingga ceramah akan menjadi pilihan utama
dalam menentukan strategi belajar. Sehingga sering mengabaikan pengetahuan awal
siswa.Untuk itu diperlukan suatau pendekatan belajar yang memberdayakan siswa.
Salah satu pendekatan yang memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual
(CTL).
CTL
dikembangkan oleh The Washington State Concortium for Contextual Teaching and
Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan
lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunai pendidikan di Amerika Serikat.
Salah satu kegiatannya adalah melatih dan memberi kesempatan kepada guru-guru
dari enam propinsi di Indonesia untuk belajar pendekatan kontekstual di Amerika
Serikat, melalui Direktorat SLTP Depdiknas
Pendekatan
Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep
belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001). Dalam
konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status
apa mereka dan bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa
yang mereka pelajari berguna sebagai hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat
mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang
bermanfaat untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya.
Tugas guru
dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya.
Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Guru hanya megelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan
suatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih diwarnai Student
centered daripada teacher centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan
beberapa hal sebagai berikut:
1)
Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh
siswa
2)
Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa
melalui proses pengkajian secara seksama
3)
Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal
siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang
akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual
4)
Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau
teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa
dan lingkungan hidup mereka
5)
Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa,
dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran
dan pelaksanaannya.
Dalam pengajaran kontekstual
memungkinkan terjadinya lima bentuk belajar yang penting, yaitu mengaitkan (relating),
mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating)
dan mentransfer (transferring).
- Mengaitkan adalah strategi yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan strategi ini ketia ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan informasi baru.
- Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengelaman maupun pengetahui sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif.
- Menerapkan. Siswa menerapkan suatu konsep ketika ia malakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapet memotivasi siswa dengan memberikam latihan yang realistic dan relevan.
- Kerjasama. Siswa yang bekerja secara individu sering tidak membantu kemajuan yang signifikan. Sebaliknya, siswa yang bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang komplek dengan sedikit bantuan. Pengalaman kerjasama tidak hanya membanti siswa mempelajari bahan ajar, tetapi konsisten dengan dunia nyata.
- Mentransfer. Peran guru membuat bermacam-macam pengelaman belajar dengan focus pada pemahaman bukan hapalan.
Menurut Blanchard, ciri-ciri
kontekstual:
1) Menekankan
pada pentingnya pemecahan masalah
2) Kegiatan
belajar dilakukan dalam berbagai konteks
3) Kegiatan
belajar dipantau dan diarahkan agar siswa dapat belajar mandiri.
4) Mendorong
siswa untuk belajar dengan temannya dalam kelompok atau secara mandiri
5) Pelajaran
menekankan pada konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda.
6) Menggunakan
penilaian otentik
Menurut Depdiknas untuk
penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu
konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning),
masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling),
refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic).
Adapaun tujuh komponen tersebut sebagai berikut:
1. Konstruktivisme
(constructivism)
Kontruktivisme
merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya
sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar
mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang
dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan
merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen
pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kegiatan
menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation),
bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis),
pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan
yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya. Bertanya merupakan
strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna
untuk menggali informasi, menggali pemahaman siswa, membangkitkan respon kepada
siswa, mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang
sudah diketahui siswa, memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki
guru, membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan
kembali pengetahuan siswa
.
4. Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Konsep
masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil
kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman,
antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau. Masyarakat belajar tejadi
apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam
komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan
pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru
menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar
siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya
model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari
luar.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi
merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau
berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya
dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi
yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian
yang sebenarnya ( Authentic Assessment)
Penialaian
adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai
perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran
perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa
siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada
penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan
terhadap proses maupun hasil.
c. Kelebihan dan kekurangan pendekatan konvensional
Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”.
Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah
perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di
seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
a.
Berbagi
informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
b.
Menyampaikan
informasi dengan cepat.
c.
Membangkitkan
minat akan informasi.
d.
Mengajari siswa
yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa
kelemahan sebagai berikut:
a.
Tidak semua
siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
b.
Sering terjadi
kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
c.
Pendekatan
tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
d.
Pendekatan
tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat
pribadi.
Selama ini metode pengajaran yang diberikan seorang
dosen maupun guru masih menggunakan pendekatan konvensional dengan metode
pengajaran repetisi atau pengulangan. Metode ini alhasil menyebabkan
pendidikan dan penguasaan materi yang diajarkan kurang maksimal dan siswa juga
kurang bisa berfikir kritis.
Metode konvensional yang dimaksud adalah metode dimana
guru tidak melakukan penyaluran pengetahuan (transfer of knowledge)
tetapi lebih kepada repetisi atau pengulangan. Otak siswa diminta untuk
menghafal tetapi bukan menganalisis secara kritis.
Metode pengajaran konvensional memosisikan guru
sebagai pemilik ilmu atau otoritas pengetahuan. Guru dianggap sebagai orang
yang memberi ilmu atau pengetahuan. Sedangkan siswa menjadi obyek pasif, hanya
sebagai penerima ilmu sehingga siswa menjadi tidak kritis.
Kelemahan metode konvensional pada konteks
pengetahuan, ilmu yang diberikan juga bersifat sudah baku. Biasanya dituangkan
dalam buku teks dan materinya hanya itu-itu saja. Metode pengajarannya hanya
seputar listening atau mendengarkan, mencatat dan menghafal teks.
Pada saat assessment atau penilaian biasanya hanya melalui ujian
dengan soal pilihan ganda. Oleh karenanya, siswa tidak memiliki kebebasaan
untuk menuangkan pikirannya terkait soal yang diberikan. Serta tidak ada metode
penilaian yang lain.
d. Kelebihan dan kekurangan orientasi teaching
Mayoritas
siswa di sekolah kita tidak dapat membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari
dan bagaimana pengetahuan yang akan digunakan. Hal ini karena cara mereka
memproses informasi dan motivasi mereka untuk belajar tidak tersentuh oleh
metode tradisional pengajaran di kelas. Para siswa memiliki waktu yang sulit
memahami konsep akademik (seperti konsep-konsep matematika) seperti yang biasa
diajarkan (yaitu, menggunakan metode, kuliah abstrak), tetapi mereka sangat
membutuhkan untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja
dan ke yang lebih besar masyarakat di mana mereka akan tinggal dan bekerja.
Secara tradisional, siswa telah diharapkan untuk membuat koneksi pada mereka
sendiri, di luar kelas.
Menurut
teori pembelajaran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa
(pembelajar) proses informasi baru atau pengetahuan sedemikian rupa sehingga
masuk akal untuk mereka dalam bingkai acuan mereka sendiri (dunia batin mereka
sendiri memori, pengalaman, dan respon). Pendekatan untuk belajar dan mengajar
mengasumsikan bahwa pikiran secara alami mencari makna dalam konteks-yang,
dalam kaitannya dengan saat ini orang lingkungan-dan bahwa ia melakukannya
dengan mencari hubungan yang masuk akal dan tampaknya berguna.
Membangun
di atas pemahaman ini, teori pembelajaran kontekstual berfokus pada berbagai
aspek dari setiap lingkungan belajar, apakah kelas, laboratorium, laboratorium
komputer, tempat kerja, atau ladang gandum. Hal ini mendorong pendidik untuk
memilih dan / atau desain lingkungan belajar yang menggabungkan sebagai bentuk
berbagai pengalaman mungkin-sosial, budaya, fisik, dan psikologis-dalam bekerja
menuju hasil pembelajaran yang diinginkan.
Dalam
lingkungan seperti itu, siswa menemukan hubungan yang berarti antara ide-ide
abstrak dan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata, konsep diinternalisasi
melalui proses menemukan, memperkuat, dan berkaitan. Sebagai contoh, sebuah
kelas fisika mempelajari konduktivitas termal dapat mengukur bagaimana kualitas
dan jumlah bahan bangunan isolasi mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan
untuk menjaga gedung dipanaskan atau didinginkan. Atau kelas biologi atau kimia
bisa belajar konsep-konsep ilmiah dasar dengan mempelajari penyebaran AIDS atau
cara-cara di mana petani menderita dan berkontribusi terhadap degradasi
lingkungan.
Namun
pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu tidak semua siswa yang diajarkan
memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, sehingga masih membutuhkan
bimbingan penuh dari guru. Tidak semua
dari mereka menjadi siswa yang aktif, sebagian dari mereka memilih pasif,
dikarenakan alasan-alasan tertentu, salah satunya karena takut berbicara atau
takut disalahkan.
e. Perbedaan antara pendekatan konvensional dan orientasi
teaching
Sumber belajar dalam pendekatan
pembelajaran konvensional lebih banyak berupa informasi verbal yang diperoleh
dari buku dan penjelasan guru atau ahli. Sumber-sumber inilah yang sangat
mempengaruhi proses belajar siswa. Oleh karena itu, sumber belajar (informasi)
harus tersusun secara sistematis mengikuti urutan dari komponen-komponen yang
kecil ke keseluruhan (Herman, et al., 1992; Oliver & Hannafin, 2001)
dan biasanya bersifat deduktif. Oleh sebab itu, pembelajaran diartikulasikan
menjadi tujuan-tujuan berupa prilaku yang diskrit. Apa yang terjadi selama
proses belajar dan pembelajaran jauh dari upaya-upaya untuk terjadinya
pemahaman. Siswa dituntut untuk menunjukkan kemampuan menghafal dan menguasai
potongan-potongan informasi sebagai prasyarat untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Artinya bahwa siswa yang telah
mempelajari pengetahuan dasar tertentu, maka siswa diharapakan akan dapat
menggabungkan sub-sub pengethauan tersebut untuk menampilkan prilaku (hasil)
belajar yang lebih kompleks. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran
konvensional merupakan aktivitas belajar yang bersifat linier (O’Malley &
Pierce, 1996) dan deterministik (Burton, et al., 1996).
Pembelajaran yang bersifat linier
didesain dengan kerangka kerja berupa serangkaian aktivitas belajar dalam suatu
tata urutan yang sistematis dan hasil belajar (berupa prilaku) yang dapat
ditentukan secara pasti (deterministik) serta teramati. Beberapa prinsip yang
melatar belakangi desian pembelajaran linier adalah: (1) mengidentifikasi dan
merumuskan tujuan pembelajaran, (2) hasil belajar yang diharapkan harus terukur
serta sesuai dengan standar validitas dan reliabilitas, dan (3) desain
berorientasi pada perubahan tingkah laku pebelajar.
Berdasarkan prinsip desain
pembelajaran tersebut di atas, maka prosedur pembelajaran konvensional yang
diimplementasikan dalam penelitian ini disusun mengikuti urutan-urutan sebagai
berikut: (1) mengidentifikasi indikator keberhasilan, yang selanjutnya
dituangkan menjadi tujuan pembelajaran, (2) merancang dan menyusun isi bahan
ajar konvensional (teks ajar dan LKS), (3) merancang dan menyusun instrumen tes
untuk mengukur hasil belajar (pemahaman konsep dan ketertampilan berpikir
kritis), (4) merancang dan menyusun skenario pembelajaran, (5)
mengimplementasikan program pembelajaran, dan (6) melaksanakan evaluasi.
Implementasi program pembelajaran terdiri dari langkah-langkah, yaitu (a)
apersepsi, (b) penjelasan konsep, dengan metode ceramah dan/atau demonstrasi,
(c) latihan terbimbing, (d) memberikan balikan (feed back). Keseluruhan
pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran ini menggunakan latar (seting) belajar
diskusi kelompok-kelompok kooperatif.
Contextual Teaching and Learning
(CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa
untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks
kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga
siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk
mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
CTL disebut
pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Dalam Contextual
teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih
memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan
dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar
melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat
fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi
oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan
perkembangan jaman.
Proses belajar anak dalam
belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi
makna pada pengetahuan itu. Transfer belajar; anak harus tahu makna belajar dan
menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan
masalah dalam kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar; tugas
guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama
dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. Pentingnya
lingkungan belajar; siswa
bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan dari dekat.
0 komentar:
Posting Komentar